DRADIO.ID – Keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi atau work-life balance kini menjadi gaya hidup yang semakin populer, terutama di kalangan generasi milenial dan Gen Z. Bukan sekadar tren sesaat, pola hidup ini dianggap sebagai solusi untuk menjaga kesehatan mental dan produktivitas jangka panjang.
Menurut survei terbaru dari lembaga HR Tech Indonesia, lebih dari 70 persen responden usia 25–35 tahun menyebut work-life balance sebagai salah satu faktor utama dalam memilih pekerjaan. Mereka tidak hanya mencari gaji kompetitif, tapi juga fleksibilitas waktu dan dukungan terhadap kesehatan mental.
“Dulu orang bangga kerja sampai larut malam. Sekarang, anak-anak muda mulai sadar bahwa hidup bukan cuma soal kerja,” ujar Rani Wulandari, 29 tahun, seorang analis keuangan di Jakarta yang menerapkan sistem kerja hybrid. “Saya produktif, tapi tetap punya waktu untuk keluarga dan olahraga.”
Fenomena ini mendorong banyak perusahaan untuk menyesuaikan kebijakan internal. Beberapa di antaranya mulai menawarkan jam kerja fleksibel, opsi kerja dari rumah, hingga program kesejahteraan mental seperti sesi konseling gratis atau cuti khusus untuk pemulihan.
Baca Juga
Meski demikian, tidak semua pekerja mudah menerapkan work-life balance. Tantangan seperti beban kerja tinggi, budaya lembur, dan ekspektasi atasan masih menjadi kendala utama. Hal ini memicu diskusi tentang pentingnya peran manajemen dalam menciptakan lingkungan kerja yang sehat.
Psikolog industri dan organisasi, Dr. Ratna Pratiwi, menyebut bahwa work-life balance bukan hanya tanggung jawab individu. “Perusahaan harus menciptakan sistem yang memungkinkan karyawan untuk bekerja secara optimal tanpa mengorbankan kehidupan pribadi,” ujarnya.
Work-life balance kini dipandang sebagai bagian dari gaya hidup sehat dan berkelanjutan. Tidak hanya meningkatkan kualitas hidup, tetapi juga berkontribusi pada kepuasan kerja, loyalitas karyawan, dan efisiensi perusahaan secara keseluruhan. (DEM)