DRADIO.ID – Dalam proses pemilihan pemimpin bangsa, Indonesia memiliki sistem demokrasi melalui Pemilihan Umum (pemilu). Sistem tersebut memberikan masyarakat Indonesia mendapatkan hak dan kebebasan dalam menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin negara dan bangsa sesuai hati nurani.
Pemilu di Indonesia dilakukan untuk menentukan Presiden, Kepala Daerah, dan Anggota Dewan. Proses pemilihan tersebut dikategorikan menjadi tiga tahapan, yaitu Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), dan Pemilihan Legislatif (Pileg). Hal itu akan dilaksanakan 5 tahun sekali, sesuai dengan satu periode jabatan yang diemban yaitu 5 tahun.
Sebelum proses pemilu berlangsung, para kandidat maupun peserta pemilu diperbolehkan melakukan kampanye. Tujuannya agar mereka dapat menjelaskan visi, misi, program atau kinerja yang akan dilakukan kepada masyarakat. Hal itu juga menjadikan strategi agar peserta pemilu mendapat perhatian dan kepercayaan dari masyarakat, sehingga para peserta pemilu berharap masyarakat memilih mereka dalam proses pemilu.
Masa kampanye memiliki aturan dan ketentuan dalam pelaksanaannya. Hal itu diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dan diawasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Saat memasuki masa kampenye, pastinya rentan terjadinya kecurangan-kecurangan yang dilakukan serta menodai proses demokrasi yang adil, jujur dan damai.
Salah satu kecurangan yang sering ditemukan adalah praktik politik uang. Praktik tersebut sampai saat ini masih banyak ditemukan, karena pola politik ini telah menjadi budaya, mempengaruhi sistem politik demokrasi dan menjadi faktor politik berbiaya tinggi.
Dilansir dari website Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), Indonesia lebih mengenal politik dengan sebutan “Serangan Fajar”. Maksud dari serangan fajar adalah suatu tindakan pemberian materi, seperti uang, sembako, barang maupun materi lainnya yang dilakukan oleh partai/calon pemimpin saat masa kampanye berlangsung menjelang Pemilu.
“Serangan Fajar” merupakan istilah populer dari politik uang. Berdasarkan Pasal 515 dan Pasal 523 ayat 1-3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pasal 187 A ayat 1 dan 2 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bahwa bentuk serangan fajar tidak terbatas pada uang.
Baca Juga
Melalui situs resmi KPK juga dijelaskan, bahwa media atau bahan kampanye yang diperbolehkan telah tercantum pada Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 Tahun 2018 Pasal 30 ayat 2 dan 6.
Aturan terkait bahan kampanye yang diperbolehkan oleh KPU dan bukan termasuk dalam serangan fajar dijelaskan secara rinci pada Pasal 30 ayat 2 yang berbunyi: Bahan kampanye dalam bentuk selebaran/flyer, brosur/leaflet, pamphlet, poster, stiker, pakaian, penutup kepala, alat minum/makan, kalender, kartu nama, pin, dan atau alat tulis.
Adapun pada ayat 6 yang berbunyi: Setiap bahan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila dikonversikan dalam bentuk uang nilainya paling tinggi Rp 60.000.
Politik uang serangan fajar harus ditegaskan dan dipahami oleh masyarakat agar tidak menerima pemberian tersebut. Pastinya bagi parta/calon pemimpin yang menjadi pelaku dalam praktik politik uang serangan fajar akan mendapatkan sanksi yang telah diatur pada UU Pilkada dan Pemilu.
“Hajar, Serangan fajar!” merupakan sebuah seruan agar masyarakat tidak terpedaya dan tergoda untuk menerima politik uang atau serangan fajar. Sebab, apabila kita menolak semua upaya suap dan politik dalam Pemilu, artinya kita mencegah terjadinya tindak korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin bangsa.
Karena, sudah dipastikan partai/calon pemimpin yang melakukan serangan fajar akan korupsi