DRADIO.ID – Dikutip dari Katadata.co.id Bill Gates menilai ChatGPT bisa menggantikan posisi pekerja kantoran. Sedangkan mahasiswa doktoral di Universitas Oxford Michael Cohen menilai, kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) yang mendukung ChatGPT bisa membuat manusia punah. Salah satu pendiri Microsoft, Bill Gates menilai ChatGPT memainkan peran penting dewasa ini, seperti halnya komputer pribadi (PC) pada masanya. “AI akan diperdebatkan sebagai topik terpanas tahun ini,” kata dia baru-baru ini kepada Forbes, dikutip dari Fortune, Jumat (3/1). “Ini sama pentingnya dengan PC, seperti internet.”
Oleh karena itu, Bill Gates menghabiskan sekitar 10% waktunya untuk berdiskusi dengan tim Microsoft tentang peta jalan produk. Padahal Bill Gates sudah pensiun dan berfokus pada filantropi. Microsoft pun menyuntik modal pengembang ChatGPT, OpenAI pada bulan lalu. Nilainya disebut-sebut US$ 10 miliar atau sekitar Rp 155,4 triliun. Microsoft berinvestasi ke pembuat ChatGPT yakni OpenAI pada 2019 dan 2021. Raksasa teknologi ini berencana menambahkan teknologi ChatGPT ke semua produk. Perusahaan buatan Bill Gates itu meluncurkan layanan rapat online Teams Premium yang didukung oleh ChatGPT pada Rabu (1/2). Teams Premium menghadirkan teknologi terbaru, termasuk Large Language Models yang didukung oleh GPT-3.5 OpenAI. “Ini (ChatGPT) memberikan gambaran sekilas tentang apa yang akan datang. Saya terkesan dengan keseluruhan pendekatan ini dan tingkat inovasinya,” kata Bill Gates. Pada kesempatan berbeda, Bill Gates menilai AI belum berdampak pada pasar kerja. “Tetapi ini akan berpengaruh, karena selalu menjadi pertanyaan tentang apa yang akan terjadi jika Anda membuat sesuatu yang lebih murah,” ujarnya dikutip dari Australian Financial Review.
Baca Juga
Di saat kecerdasan buatan seperti ChatGPT mempermudah pekerjaan, para peneliti menilai ‘AI nakal’ bisa mengancam eksistensi manusia. Oleh karena itu, AI dinilai perlu diatur seperti senjata nuklir. “Dengan manusia super AI, ada risiko tertentu dari jenis kelas yang berbeda, yaitu bisa membunuh semua orang,” kata Michael Cohen, mahasiswa doktoral di Universitas Oxford, dikutip oleh Times of London. Rekan Cohen yakni Michael Osborne, yang mengajar mesin pembelajar atau machine learning di universitas di Inggris, menyampaikan hal serupa. “AI tingkat lanjut dapat menimbulkan risiko yang sama besarnya bagi kita (manusia) seperti yang telah kita lakukan pada spesies lain: dodo adalah salah satu contohnya,” kata dia dikutip dari The New York Post, pekan lalu (26/1). “Saya pikir kita berada dalam perlombaan senjata AI besar-besaran, secara geopolitik antara Amerika Serikat (AS) versus Cina. Di antara perusahaan teknologi tampaknya ada keinginan untuk mengesampingkan keselamatan dan kehati-hatian dan berlomba secepat mungkin mengadopsi AI paling canggih,” tambah dia. Osborne tidak memerinci ‘dodo’ yang dimaksud. Namun berdasarkan pencarian di Google Search, dodo adalah kumpulan alat untuk machine learning, pengoptimalan, dan manipulasi geometri. Katadata.co.id pun bertanya mengenai apa itu Dodo kepada ChatGPT. ChatGPT menjelaskan, Dodo adalah singkatan dari “Deep Off-Policy Distillation”. “Ini adalah teknik machine learning yang memungkinkan model AI mengambil keputusan lebih baik dengan mengandalkan kecerdasan buatan dari model lebih canggih dan kuat,” kata ChatGPT. Katadata.co.id bertanya lagi kepada ChatGPT tentang kenapa AI diibaratkan seperti Dodo. ChatGPT menjawab, Dodo yang disebut oleh Osborne bukan merujuk pada burung dodo yang punah, melainkan istilah yang menggambarkan efek potensial dari AI terhadap pekerjaan dan profesi manusia. “Ada beberapa ahli teknologi dan ekonomi yang berpendapat bahwa AI dan robotika dapat menggantikan pekerjaan manusia dan menyebabkan masalah sosial dan ekonomi,” kata ChatGPT. “Namun, ada juga yang mengatakan bahwa AI dapat membantu manusia dan menciptakan pekerjaan baru, sehingga tidak ada alasan untuk khawatir tentang ‘dodo’ menyebabkan kepunahan manusia,” tambah dia. ChatGPT mengatakan, pengawasan dan regulasi yang tepat membuat AI dapat digunakan untuk membantu manusia dan memecahkan beberapa masalah yang ada, alih-alih membuat manusia punah. Namun para ilmuwan khawatir bahwa perusahaan teknologi berisiko mengorbankan umat manusia demi kenyamanan ala ‘Terminator’, salah satu skenario yang menurut Cohen bahwa AI dapat belajar membantu manusia dengan menggunakan taktik yang merugikan manusia. “Jika Anda membayangkan melatih seekor anjing dengan camilan, maka anjing itu akan belajar memilih tindakan yang membuatnya mendapatkan camilan. Tetapi jika anjing menemukan lemari camilan, ia bisa mendapatkan camilan itu sendiri tanpa melakukan apa yang kita inginkan,” kata Cohen. “Jika Anda memiliki sesuatu yang jauh lebih pintar dari kami—yang secara monomaniak mencoba untuk mendapatkan umpan balik positif ini (tren AI)—mereka (AI) akan mengarahkan energi sebanyak mungkin untuk mengamankan cengkeraman,” tambah Cohen. “Jika saya seorang AI yang mencoba untuk melakukan plot licik, saya akan membuat kode saya disalin di mesin lain yang tidak diketahui siapa pun, maka akan lebih sulit untuk menghentikan saya,” ujar Cohen. Ketika diekstrapolasi ke arena geopolitik, Cohen menilai ini berpotensi mengakibatkan bencana global. Survei terhadap 327 peneliti di Universitas New York pada September 2022 menunjukkan, sepertiga percaya bahwa AI dapat membawa ‘kiamat gaya nuklir dalam abad ini’. “Pengembangan AI dapat mengakibatkan ‘adu senjata’ secara harfiah, karena negara dan perusahaan bersaing menciptakan sistem paling canggih untuk aplikasi sipil dan militer,” kata para ahli.