Dradio.id, Jakarta – Salah satu
instrumen investasi di Pasar Modal adalah obligasi.Berbeda dengan saham yang
merupakan bukti kepemilikan sebuah perusahaan, obligasi merupakan surat utang
jangka menengah-panjang yang dapat dipindahtangankan, yang berisi janji dari
pihak yang menerbitkan (issuer) untuk
membayar imbalan berupa bunga pada periode tertentu, dan melunasi pokok utang
pada waktu yang telah ditentukan kepada pihak pemegang obligasi. Kepemilikan sebuah obligasi hanya sampai
obligasi tersebut jatuh tempo.
Obligasi dapat
diterbitkan oleh perusahaan maupun negara. Obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan
disebut sebagai obligasi korporasi. Sedangkan obligasi yang diterbitkan negaradisebut
sebagai Surat Utang Negara (SUN).
Dalam hal sebuah
korporasi menerbitkan obligasi, pada umumnya proceed yang didapatkan akan digunakan untuk membiayai ekspansi
usaha, menambah cash flow perusahaan,
refinancing, atau kebutuhan pendanaan
lain. Adapun SUN, sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2002 tentang Surat Utang Negara, SUN diterbitkan dengan tujuan untuk membiayai defisit
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, menutup kekurangan kas jangka pendek
akibat ketidaksesuaian antara arus kaspenerimaan dan pengeluaran dari Rekening
Kas Negara dalam satu tahun anggaran dan untuk mengelola portofolio utang
negara.
Selain
tujuan penggunaan dananya, hal lain yang membedakan antara obligasi korporasi
dengan SUN adalah tingkat risiko. Risiko utama dari obligasi adalah risiko
gagal bayar (default risk). SUN
memiliki risiko yang rendah (kerap disebut zero
risk) dikarenakan SUN diterbitkan oleh negara, sehingga kemungkinan negara
mengalami gagal bayar atau kebangkrutan relatif kecil.Adapunrisiko terbesar dari
obligasi korporasi adalah terjadinya gagal bayar yang umumnya disebabkan oleh
kondisi keuangan perusahaan yang mengalami financial
distress.
Untuk
mengetahui tingkat risiko obligasi, investor dapat mempertimbangkan
dariperingkat (rating) obligasi yang
dikeluarkan oleh Lembaga Pemeringkat. Rating tertinggi adalah AAA (triple A), berikutnya AA+, AA, AA-, A+,
A, A-, BBB+ dan seterusnya. Obligasi yang mengalami defaultakan memiliki rating
D yang mencerminkan bahwa obligasi tersebut default
atau gagal bayar. Peringkat obligasi diberikan pada saat penerbitan obligasi,
dan dievaluasi setiap waktu oleh Lembaga Pemeringkat.
Baca Juga
Selanjutnya, pemegang
obligasi disebut sebagai pemberi pinjaman (investor). Setiap pemegang obligasi
akan mendapatkan kupon obligasi yang merupakan bunga pinjaman yang harus
dibayar oleh penerbit kepada investor secara berkala, baik secara bulanan,
triwulanan, maupun semesteran. Oleh karena itu, obligasi disebut sebagai
instrumen investasi pendapatan tetap. Pada akhir periode jatuh tempo, pemegang
obligasi juga akan menerima pelunasan senilai pokok obligasi tersebut dari
penerbit.
Selama belum jatuh
tempo, obligasi dapat diperdagangkan di Bursa Efeksama seperti efek lain, seperti saham,
sukuk, efek beragun aset, reksa dana berbentuk kontrak investasi kolektif
maupun dana investasi real estate.Harga awal obligasi yang diterbitkan pada
nilai nominal disebut at parvalue
atau 100% (sama dengan nilai utang atau nilai nominal obligasi). Ketika
diperdagangkan di pasar sekunder, harga obligasi tersebut dapatmengalami
kenaikan (contoh: 101%, 105,5%) maupun penurunan (contoh: 99%, 80%, bahkan
mungkin lebih kecil lagi).
Kenaikan dan penurunan
harga obligasi dapat dipengaruhi oleh supply
dan demanddari masing-masing obligasi. Semakin banyak
peminat suatu obligasi yang diperjualbelikan, akan mempengaruhi kenaikan harga
obligasi tersebut. Sebaliknya, jika lebih banyak yang ingin menjual, maka akan
menyebabkan harga obligasi turun.
Supply dan demand untuk obligasi sendiri dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satu contohnya adalah kenaikan dan penurunan harga dan suku bunga risk free untuk instrumen investasi bebas risiko seperti Surat Berharga Negara (SBN). Apabila harga SBN turun sementara suku bunga yang ditawarkan dinilai cukup menarik, maka investor dapat beralih untuk membeli SBN. Di sisi lain, investor yang memiliki obligasi yang dinilai lebih berisiko (rating yang lebih rendah) akan melepas obligasi tersebut sehingga menyebabkan demand obligasi menurun. Hal ini disebabkan karena investor memiliki kecenderungan memilih instrumen yang lebih aman. Dalam kondisi normal, harga suatu obligasi cenderung convergence menjelang waktu jatuh tempo. Namun demikian bila terjadi peningkatan default risk, hal tersebut dapat menjadi trigger bagi investor untuk menjual obligasi guna meminimalisasi potensi kerugian. (*)